Desember 28, 2010

Apakah Allah Sudah tidak sayang lagi pada manusia...???

Bencana Dimana-mana mulai gempa bumi, gunung meletus, longsor, banjir dan lain sebagainya
kita bertanya Apakah Allah sudah tidak ayang lagi Pada Manusia atau ini sebuah pertanda kiamat sudah dekat atau apakah sebuah teguran dari Allah supaya Manusia itu sadar akan perbuatan yang di perbuatnya.
“Sayangilah oleh kamu sekalian apa yang ada di bumi, maka apa yang ada di langit akan sayang kepadamu.” (al-Hadits)

Bumi Indonesia kembali bergoyang. Bumi Indonesia kembali berulah. Alam sepertinya belum bisa berdamai dengan manusia Indonesia. Masih membekas dalam ingatan kita tahun 2004 akhir di Ujung Sumatera, tsunami menghantam Aceh, dan menghancurkan sebagian besar wajah Aceh. Sekarang tahun 2009, gempa mengguncang pulau Sumatera, tepatnya di Padang. Gempa tidak hanya merenggut nyawa tapi merubah wajah Kota Padang yang elok, menjadi muram. Karena sebagian besar wilayahnya luluh lantak. Ada anak yang kehilangan ibu dan bapaknya. Ada suami yang kehilangan istri, ada istri kehilangan suami. Hotel yang megah ikut hancur. Rumah yang mewah ambruk tak bersisa. Swalayan, kantor-kantor, hancur. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, nenek, kakek-kakek, ikut menjadi korban.
Kita yang berada di luar lingkaran bencana, bisa bernafas lega. Karena kejadian itu tidak menimpa kita. Tapi coba bayangkan jika kejadian itu terjadi di tempat kita. Terjadi di bumi yang kita pijak. Tiba-tiba saja saat kita selesai kerja, lagi di lift, gempa mengguncang dengan kekuatan 7,6 skala richter. Apa yang akan kita lakukan? Atau kejadiannya kita selamat, tapi saat pulang, rumah kita hancur rata dengan tanah. Sedangkan istri, anak kita berada di dalamnya. Apa yang kita pikirkan menyaksikan tragedi itu?
Begitu pula dengan mereka yang sekarang menjadi korban gempa, mereka kebingungan dan butuh pertolongan. Mereka, para korban, bingung, sedih, kesal, menyesal bercampur menjadi satu. Hidup seakan berhenti.
Dan dimanakah kita saat Tasik, Cianjur, Ciamis, Sukabumi, Pangalengan dan Padang hancur?

Kita, sibuk dengan koalisi, bagi-bagi kue kekuasaan. Kita sibuk dengan pesta-pesta akhir pekan. Kita sibuk dengan gonjang-ganjing KPK dan Century. Kita sibuk dengan shooping. Kita sibuk buka-buka majalah fashion terbaru. Kita sibuk dengan urusan masing-masing.

Lantas kemana kepedulian kita terhadap para korban gempa?

Agama mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang itu bersaudara, atau satu. Bahwa manusia yang satu dengan yang lain itu adalah seperti satu tubuh. Jika anggota tubuh yang lain merasakan sakit maka bagian tubuh yang lain pun ikut merasakannya. Tapi benarkah ajaran itu masih kita pedang?

Individualis. Itu kata yang tepat buat menggambarkan suasana psikologis kehidupan kita hari ini. Kita cenderung lebih memilih menyelamatkan apa yang kita punya. Tak peduli orang kelaparan atau mati sekalipun. Dalam pikiran kita yang ada hanyalah, bagaimana caranya hidup menjadi lebih kaya, lebih fun, kalau bisa, bumi ini semuanya menjadi milik kita. Atau aku mau senang sendiri, perkara yang lain susah, itu bukan urusanku.

Gempa mengguncang Padang, apa pentingnya bagiku?

Padahal berbagi adalah nilai kemanusiaan kita. Dengan berbagi kita menjadi lengkap dan melengkapi. Kata itu, berbagi, menjadi semakin langka kita dengar. Karena yang sering kita dengar adalah kata korupsi, penggelapan, keuntungan, rugi, kolusi, menimbun. Sedangkan berbagi menjadi kata yang selalu kita ingkari. Sebab ada ketakutan dalam diri kita, menjadi kurang.
Allah berjanji, barangsiapa yang memberikan hartanya untuk menolong sesamanya, apa yang ia berikan tidak berkurang, justru bertambah. Tetapi Tuhan juga mengingatkan kepada kita untuk tidak lantas bangga diri karena memberi atau berbagi. Memberi atau berbagi adalah wujud dari pedulinya anggota tubuh yang satu kepada anggota tubuh yang lainnya. Dengan memberi menandakan bahwa kita masih memiliki anggota tubuh yang lengkap. Dengan berbagi otot dan urat syaraf kita masih berfungsi.

Rasa memiliki adalah kerangkeng bagi kita untuk berbagi. Kita merasa bahwa apa yang kita miliki adalah milik kita seutuhnya. Apakah memang benar, apa yang kita miliki adalah benar-benar milik kita?

Ajaran agama dengan nyata mengabarkan kepada kita, bahwa di dalam yang kita miliki ada milik orang lain. Jadi jika suatu saat kita berbagi, itu adalah manifestasi dari membalikan milik orang lain yang dititipkan pada kita. Jadi apa yang kita berikan bukan milik kita, tapi memang haknya mereka. Bisakah kita menerima kenyataan itu? Menerima kenyataan bahwa di dalam harta kita terdapat milik orang lain.

Sekarang, ketika saudara kita yang lain bersedih, masihkah tak peduli? Tidak cukupkah gempa yang demikian dahsyat menyadarkan kita? Tragedi seperti apalagi yang akan benar-benar menyadarkan kita?

Haruskah kita baru sadar ketika tsunami menggulung kita? Apakah kita baru sadar manakala gempa mengguncang tanah yang kita pijak?

Tentu, bukan itu yang kita mau. Tapi nasib orang siapa yang tahu. Siapa tahu besok hari, gempa mengguncang rumah kita, kantor kita, pasar kita, sekolah kita, dan kita tak bisa berbuat apa-apa. Semua yang kita miliki menjadi tak berguna dan berarti. Kita, hanya bisa terduduk diam kehabisan air mata. Karena tak kuasa dan tak bisa berbuat apa-apa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan isi komentar disini
KOmentar sobat semua sangat berarti buatku.........

Get paid To Promote at any Location